Senin, 11 April 2016

Tidak Akan Pernah Cukup



“Aku gendutan nggak?” Rere mengamati dirinya sendiri dari atas sampai bawah.

 “Enggak, Re. Kamu sudah ideal. Cantik.” Jawabku bersungguh-sungguh.

“Masak sih? Tapi tadi aku nimbang naik 5 Ons.”

“Astaga, baru 5 Ons. Belum 5 kilo. Nanti juga turun lagi. Sudah ayo, kita jadi pergi kan?”

Dengan tampang Rere yang cemberut akhirnya kami segera pergi menuju ke pesta pernikahan sepupuku.

Di perjalanan aku sibuk merayu, menenangkan, menghibur atau entah apa pun namanya agar Rere tidak lagi membahas mengenai berat badan. Lagi dan lagi.

“Tapi kan aku nggak mau kelihatan gendut. Apalagi pasti nanti di pesta banyak saudaramu. Nanti kamu malu gimana?”

“Malu kenapa? Kan kamu pake baju. Hehe. Kalau kamu nggak pake baju baru aku malu.

“Ih Radit!”

Sepertinya Rere bertambah marah dan aku tidak mau lagi bertengkar karena hal ini.

“Kalau aku malu, pasti aku nggak akan ngajakin kamu. Aku pasti udah ngajakin cewek lain yang kurus kering.”

Kembali aku melayangkan senyum setulus mungkin.

Akhirnya kami sampai di gedung tempat pesta pernikahan sepupuku diselenggarakan. Setelah menyalami kedua mempelai dan para saudara yang datang aku mengajak Rere untuk menghampiri stand makanan.

“Es krim? Kamu suka banget kan?” Aku menawari Rere.

“Enggak deh. Aku nggak mau beratku nambah lagi.”

“Astaga, Re. Ini kan cuma es krim. Dikit aja.”

Rere menggeleng.

“Atau mau makan? Aku ambilin yah?”

“Enggak. Aku nggak lapar.”

Baru saja Rere bilang seperti itu tiba-tiba ia pingsan. Membuat heboh seluruh undangan yang datang ke pesta.

Tanpa banyak berpikir, aku segera membawa Rere ke rumah sakit. Lama sekali aku menungguinya sadar. Berharap ia akan baik-baik saja.

Akhirnya dokter yang merawat Rere memintaku menemuinya.

“Jadi bagaimana, Dok?”

“Rere ini kekurangan banyak cairan. Dia juga mengalami hipoglikemi atau kekurangan kadar gula karena sepertinya terlalu banyak diet. Apalagi setelah dikaji oleh perawat kami Rere sering  memuntahkan kembali makanannya. Kalo terus seperti ini mungkin bisa bahaya. Bahkan mungkin bisa terkena anoreksia.”

“Anoreksia?!”

Dokter itu dengan pengertian menjelaskan padaku bahwa jika Rere sering memuntahkan kembali makanan yang ia konsumsi maka ia akan mengalami obsesi berlebihan untuk memiliki tubuh kurus sehingga membuat penderitanya akan menolak untuk makan.

Setelah dokter menjelaskan lebih lanjut tentang kemungkinan buruk itu, aku segera membujuk Rere. Bagaimana pun dia harus berhenti bersikap seperti ini.

“Re, bagiku seperti apa pun kamu, kamu tetap akan jadi Rereku. Mau kamu gemukan atau kurusan masa bodoh, Re. Mauku kamu tetap sehat. Supaya kita bisa selalu menghabiskan waktu bersama, makan bersama, jalan bareng.

Bebas tanpa melulu memikirkan soal berat badan dan penampilan. Semua nggak akan ada artinya kalau kamu sakit, Re. Semua nggak akan berarti.”

Tidak mudah untuk membuat gadisku ini mengerti.

“Tapi aku ingin selalu terlihat cantik di depanmu. Setiap perempuan ingin seperti itu di depan pasangannya.”

“Kamu ingin terlihat cantik di depanku atau terlihat cantik menurut persepsimu? Kalau kamu ingin terlihat cantik di depanku maka kamu sudah lebih dari cantik. Terlebih kalau kamu bisa mencintai dirimu sendiri. Dengan menjadi sehat dan menjaga berat badanmu dengan baik.

Kalau kamu ingin terlihat cantik menurut persepsimu, maka seberapapun besar aku mencintaimu itu tidak akan pernah cukup.” Aku mengakhiri perkataanku dengan tersenyum. Berharap gadisku ini akan mengerti dan menjaga kesehatannya mulai dari sekarang.


Setelah perbincangan kami hari itu, akhirnya Rere mau mengerti juga dengan penjelasanku. Sedikit-sedikit dia mulai berubah dan memulihkan kesehatannya. Aku selalu berusaha mendukung dan menyemangatinya.




Tidak ada komentar: