Jumat, 18 November 2011

Judul puisi : puisi

Aku merintih bukan karena kesakitan..
aku menjelma dalam suara..
yang mungkin dengan pandangan dapat kau acuhkan tapi tidak dengan suara ini..

Aku menyusup bukan karena aku lancang..
tapi bukankah memang di sanalah seharusnya aku berada??
Kenapa perlahan posisiku memburam..

Aku menangis bukan agar semua orang menoleh ke arahku..
Tapi liatlah api ini benar-benar membakarku..
Merubah kenanganku menjadi abu..

Beginikah takdirku??
Atau lagi, ini memang salahku??
Salahku yang tak pernah memahami..

Aku mungkin memang bukanlah orang dengan segenap derajat dan pangkap dipundakku...
Tapi liatlah padakuu..
Maka akan kau dapati satu saja alasan disana..
Karena bukankah aku memiliki hak..

Rabu, 09 November 2011

Barisan Tentara

Anak itu duduk terdiam..

Sambil sesekali memainkan bajunya yang sudah mulai usang dan menggerak-gerakkan kakinya yang kotor tanpa alas..

Ia mengedarkan pandangannya, melihat barisan tentara mengayunkan senjatanya..

Sejenak terbesit kekaguman dalam angannya..

Betapa mereka terlihat begitu berkharisma dengan seragamnya..

Namun, dalam sejenak pula pandangan anak itu menyapu kearah senjata-senjata dalam genggaman tentara-tentara itu..

Anak itu bergidik..

Duduk sambil mendekap erat kedua lututnya..

Senjata...

Ia benci itu..

Menggunakan senjata untuk menyerang, menyakiti, dan mencabik-cabik..

Menggunakan “tameng” sebagai penutup wajah..

Menutupi keburukan dari dunia..

Menjadikan “berperang untuk membela kebenaran” sebagai alasan..

Padahal siang dan malam pun tau apa yang sesungguhnya di hati para tentara itu...

Ingin rasanya dalam sanubari anak itu, berlari menerobos diantara barisan itu seraya berteriak “INI BUKAN PERANG!!! INI PENINDASAN!!”

Namun, anak itu hanya dapat memandangi barisan tentara yang mulai menjauh...

Memandang dengan penuh ketakutan dan kebencian..

Ia menenggelamkan kepalanya diantara kedua lututnya..

Dan yang ia tau, ia hanyalah seorang anak kecil..

Sabtu, 12 Maret 2011

Dera Siksa di Pagi Hari

Ketika matahari kembali menampakkan dirinya dari ufuk timur, aku terbangun dan tersadar.
Tersadar bahwa ada yang hilang dari pelukanku.
Ada yang hilang dari dekapanku.
Meninggalkanku sendirian di sudut ruangan yang mulai terisi sorot dari sinar matahari.
Sinar yang terang namun hambar.
Sinar yang membawa kehidupan namun terasa mati bagiku.
Dan dalam diamku aku mulai merindukan sesuatu.
Merindukan angin semilir yang berhembus sepanjang malam.
Angin yang memelukku semalaman dan menghantarkan tidurku dalam damai, namun dia juga yang membuatku bangun dalam perasaan galau.
Dan menyeret pagi yang memaksaku untuk menyadari bahwa angin itu sirna, berkeliling mengikuti nafsunya.
Berkeliling bersama rayuannya yang menyiksa.
Meninggalkan jejaknya yang meracuni pagiku.
Aku mulai merindukannya...
Berteriak memecah keheningan.
Meminta pada alam semesta agar mereka mengembalikan malamku.
Agar mereka bertanggung jawab atas siksaan yang menderaku.
Karena malamlah yang membawakan anginku, menghadirkannya dalam kemegahan.
Angin yang semalam masih merengkuhku dengan jari-jarinya.
Angin yang membawakan kehangatan di setiap hembusannya.
Angin yang mendekap bintang dalam genggamannya.
Mempersembahkannya padaku, layaknya persembahan cinta bagi para dewa.
Aku kembali berteriak dengan nafas memburu hingga sesak dalam dadaku.
Hingga untuk kesekian kalinya aku harus kembali tersadar.
Alam semesta tak kan mengabulkan permohonanku.
Bahwa angin tidak akan menetap dalam pelukanku.
Dan perlahan tapi pasti aku membiarkan pagi ini mencabik-cabik diriku.